[PHOTO JOURNAL] Nyadran: Breakfast at the Graveyard


Kali ini saya akan bercerita soal bagaimana saya sarapan di pemakaman tua, tempat dimana kakek dan kakek buyut saya dimakamkan. How come?

Jadi, tepat sebelum bulan Ramadhan 2018, ibu saya sudah mewanti-wanti; "sebelum puasa harus pulang ya, kita mau bebersih makam"

Besar di keluarga yang plural, semua hari besar menjadi hari bersih-bersih makam. Belakangan saya tahu ini semua karena holiday spirit keluarga saya yang begitu besar (baca: sekalian jalan-jalan). Ada qingming (ceng beng) di bulan april, lalu nyadran sebelum puasa, lalu ada sekian tahun meninggalnya kakek nenek, dan bebersih sebelum natal karena libur panjang. Bebersih makam bukan hal yang baru buat saya (and this is why, graveyard is not a scary place for me!)

Nyadran (ditempat lain dikenal juga sebagai Ruwahan) adalah tradisi bersih-bersih desa dan makam desa. Di jawa tengah dan sekitarnya normal sekali untuk satu kampung punya satu makam (saya baru tahu hal ini karena keluarga saya, meskipun dimakamkan di makam desa, punya satu slot tersendiri dan di jakartapun saya sekolah didepan TPU jadi ya... bayangan saya makam itu berbayar)

makam desa umumnya tidak berbayar--oleh karena itu warga desa masih harus bergotong royong untuk merawat makam-makam tersebut--toh yang dimakamkan adalah kerabat sendiri kan?

Jadi, menyetirlah saya dan pak suami sejauh 80 kilometer ++ menuju salah satu desa di kaki bukit kapur di Gombong, Kebumen.

Disclaimer: Keseluruhan foto dalam Photo Journal kali ini diambil dengan iPhone 6s dengan menggunakan aplikasi NOMO dan built in camera iOS dan diretouch dengan menggunakan Adobe Lightroom CC 2015



On a lighter note: Saya kangen dengan kamera analog. Belakangan saya tidak lagi menggunakan kamera-kamera analog saya karena terhambat biaya cetak dan film yang lumayan. Mungkin liburan besok; saya akan kembali membawa holga ataupun yashica saya jalan-jalan. who knows?

Kembali lagi ke tradisi Nyadran; konon pada mulanya tradisi ini adalah tradisi Hindu Buddha. Pada saat walisongo dan ajaran islam masuk ke pulau jawa, kemudian tradisi ini dibalut dengan nuansa islam yaitu dengan menambahkan bacaan-bacaan dzikir dan tahlil.

Inti dari nyadran adalah makan bersama seperti kendurian dengan makanan yang dibawa oleh masing-masing warga dan kemudian digelar--bisa dilapangan, di balai desa, lokasi bersih-bersih--kalau yang terjadi di desa ibu saya adalah di tengah-tengah makam desa yang entah sudah berapa puluh tahun dibangun.

So yes, i'm having a breakfast in the middle of an ancient graveyard.


Saya dan pak suami bangun jam 4 pagi. Kabut masih menyelimuti kampung dan saya sendiri masih terlalu lelah akibat jalanan yang macet total (bayangin Jogja-Kebumen 6 jam naik mobil) dan rasanya masih ngantuk karena semalem bantu-bantu beres-beres. Jam setengah 6 kami sudah harus melewati jalan berkelok dan menanjak menuju makam yang terletak di kaki bukit kapur sambil membawa perlengkapan bersih-bersih. 

Sekarang sudah banyak daerah yang menghilangkan tradisi nyadran atau ruwahan ini karena dipandang bertentangan dengan syariat Islam. Kalo saya sendiri melihat nyadran di kampung saya ini bukan yang full ngaji-ngaji gitu, melainkan cuma berberes makam. Semacam kerja bakti skala besar dan ditutup dengan makan-makan bancakan yang digelar diatas tanah yang sudah dialasi daun pisang. 

Masakan yang disajikan umumnya adalah masakan tradisional seperti nasi gudeg, ingkung, sayur dan lauk pauk. Semuanya membawa makanan yang nantinya akan dibagi-bagi dan dinikmati bersama.

Dan kayanya semua kebudayaan di dunia punya perayaan hari kematian masing-masing, misalnya Dia de los muertos di Mexico, Yu Lan Pen & Qing Ming (Ceng Beng) Festival di asia timur, Halloween di eropa dan sebagainya.

Kalau di jawa tengah ini Nyadran ya jatuhnya lebih ke bersih-bersih makam aja sih ya.. nggak ada kesan mistisnya sama sekali (bayangin aja sekampung tumpah ruah di makam) Dan memang ada kepuasan tersendiri makan bersama tetangga-tetangga bersama-sama setelah capek bersih bersih.

Saya nggak tahu apakah 5 atau 10 tahun kedepan masih akan ada tradisi Nyadran seperti ini. Keberadaannya semakin tergusur masyarakat yang semakin individualis dan stigma 'sesat' atau 'bid'ah' kepada kegiatan-kegiatan dengan unsur asimilasi jawa-islam. But i hope someday i can tell my friends, or my kids, that once I had a breakfast at a graveyard and it wasn't scary at all. 




all photos taken by me on iPhone 6S, with NOMO Camera App
Retouching done using Lightroom CC by Me

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[REVIEW & FIRST IMPRESSION] Natur Hair Mask with Aloe Vera Extract

[REVIEW] Treatment Derma Face Therapy (DFT) Acne Di NMW Skin care Yogyakarta

Semua Yang Perlu Kamu Tahu Soal Food Photography! (+ Behind The Scene)