Dear Pemerintah, Kenapa Sih Harus Trending Topic?


Indonesia negaraku, orangnya lucu-lucu.

Kemarin, jagat twitter ramai gara-gara cuitan para buzzer salah satu program pemerintah yaitu #SawitBaik. Now don't get me wrong, i have nothing against Sawit karena mama juga pensiunan salah satu perusahaan Sawit terbesar di Indonesia. 

Yang jadi masalah adalah timingnya. Di Riau lagi ada kebakaran hutan--well, tiap tahun selalu ada kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang mengakibatkan kabut asap gila-gilaan di Indonesia sampai asapnya 'mampir' ke Malaysia dan Singapore. 

Kebakaran Hutan itu ditengarai karena adanya lahan hutan yang dibakar untuk menjadi kebun dan komoditas perkebunan di Sumatera dan Kalimantan yang paling menjanjikan dari segi ekonomi ya Sawit.

Di saat-saat demikian, pemerintah memutuskan untuk launching campaign Sawit Baik. Kan Lucu.

Kenapa sih Harus Trending Topic?

Orang tua-orang tua kita di pemerintahan ini memang terkadang suka trying too hard to be relevant. Dipikirnya menggunakan buzzer, lantas semua permasalahan publikasi negara selesai.

Ntar dulu. 

Masyarakat Indonesia lagi eneg-enegnya sama Buzzer, Influencer dan profesi-profesi sejenis itu. Blogger bikin review dibilangnya "waaah pasti berbayar! pasti endorse" dengan semangat menghakimi bahwa produk endorse yang jadi favorit dan 'kesukaan aku banget' itu pasti sebenernya B ajah. 

Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena dari zaman awkarin masih naik kuda pake beha dan topeng mas-mas perampok di sinetron Indonesia tahun 1990an itulah kalimat-kalimat yang rajin bercokol di akun-akun pergosipan dunia maya. Nggak percaya? Ih coba aja baca sendiri.

Tapi ya saya paham sih. Saya juga termasuk yang nggak gampang kemakan iklan, dan dengan ratusan influencer di berbagai platform sosial media menjejali kita dengan konten iklan setiap harinya, wajar aja sih kalo orang-orang jengah.

Buktinya, kalian lebih seneng saya nulis yang begini-begini ini kan? Tulisan-tulisan yang memancing keributan gini kan? Kenyataannya memang tulisan-tulisan saya nggak bersponsor seperti ini memang punya lebih banyak pembaca. Cerita soal macil aja viewsnya masih lebih banyak ketimbang beberapa pillar article saya yang lain; walo bisa jadi si macil ngeklik in sendiri artikel dia sampe eneg, bisa aja kan?

Kok jadi bahas macil sih huft.

Balik lagi, kemaren saya melihat salah satu upaya para opa-opa di pemerintahan kita ini untuk relevan adalah dengan menggunakan sosmed. Bagus sih, tapi engga tahu target. Bahkan ada aja tuh buzzer yang kontennya ga relevan sekedar menaikkan hashtag biar trending. Nggak usah di screenshot lah ya, menuh-menuhin kuota hosting aja.

Terus kalo udah trending mau ngapain? Output sesudah trending apa? Memang habis trending terus masyarakat auto-teredukasi gitu? Atau emang trending itu sebenarnya malah Key Performance Index? 

Nggak Semua Hal Perlu Jadi Trending Topic Buat Viral

Saya kadang bertanya-tanya, ada ga sik mahasiswa periklanan atau komunikasi korporat di pemerintahan? Soalnya kadang-kadang strategi buzzing pemerintah suka salah kaprah.

Biar ga negatif, gini ya saya kasih contoh baiknya.

Kalian tahu akun Ditjen Pajak? ituloh yang suka me-ninuninuninu netizen kaya raya. Seriusan. Akun Ditjen Pajak itu bisa dikenang sama warganet karena ya kontennya refreshing, nggak perlu trending topic #MasyarakatSadarPajak #PesanMenteriKeuanganPentingBangetBacaDong #BayarPajakTerus dan lain sebagainya.

Cukup ngasih informasi yang relevan, meninuninu netizen dan memberi respon saat ada pertanyaan-pertanyaan yang penting-nggak-penting dari netizen.

Akun lain yang sukses menurut saya adalah TNI AU dengan Airminnya yang menghibur, informatif, lucu dan receh-receh, sukses bikin citra TNI yang serem dan siap tempur anytime jadi merasa terhibur, jadi inget kalo TNI ya manusia juga yang doyan dangdutan dan pergi kondangan. Gak pake buzzing, gak pake trending topic, tapi orang inget. 

Atau yang paling luar biasa: Kementerian PUPR yang doyan membuat Meme soal menterinya sendiri. Pak Basuki emang luar biasa kesabarannya karena memenya lucu-lucu, dan hasilnya, saya jadi tahu ada kementerian yang namanya Kementerian PUPR dan segala program-programnya. Sebagai milenial generasi akhir yang nggak dapat kurikulum PPKN dan P4, ini sebenarnya pencapaian besar loh. 

Haloooo pemerintah, orang tuh buka sosmed pengen refreshing, bukan pengen dibombardir sama agenda-agenda pemerintahan. Kalo mau ngasi tau agenda pemerintahan, gunakanlah cara-cara yang smooth dan bikin happy. 

Dunia Teknologi Itu Seperti Fast Moving Goods

Saya selalu bilang begini setiap dapet klien korporat. Apa yang kita anggap keren kemarin belum tentu relevan hari ini, dalam hitungan detik opini masyarakat bisa berubah seiring dengan datangnya informasi-informasi baru. 

Trend itu bukan hanya dianalisa berdasarkan angka-angka yang muncul di statistika anda, melainkan dirasakan. Key opinion leader itu bukan cuma jendela untuk mengemukakan opini saja, tapi harus dibentuk supaya Opini mereka memang tercermin dari tindak tanduk dan perbuatan mereka juga.

Kenapa? Karena orang-orang yang memfollow KOL itu bisa jadi lebih kenal KOL tersebut ketimbang anda-anda yang mensponsori. Makanya, riset-riset dan riset.

Saya yakin kampanye Sawit Baik itu sebenarnya kampanye dan aktivasi yang sudah disusun sejak lama (seenggaknya tidak dalam hitungan hari), terbukti grafisnya oke, acara tersusun rapi dan lain sebagainya.

Tapi timing launchnya sama sekali nggak tepat.

Mungkin kalo di launch bersamaan dengan inisiasi energi alternatif, bisa diangkat itu soal biodieselnya Sawit. Mungkin kalo di launch dengan kampanye hari konsumen + diskon-diskon produk sawit maka Sawit akan kelihatan lebih enticing buat masyarakat penikmat sosmed.

Mau melawan hoax? Tidak perlu trending topic! Buat klarifikasi dengan data yang memadai dan tentunya data yang tepat dong. Beri masyarakat insight soal bagaimana sawit menyokong kehidupan negara dengan cara yang smooth. Tingkatin dong kewajiban CSR Perusahaan Sawit sampe segede Perusahaan Tembakau misalnya. 

Spin control itu ada seninya. Makanya mahal. 

Saya Juga Buzzer Makanya Saya Ngomong Begini

Meski sangat menolak predikat buzzer di bio saya karena plis deh, saya itu anaknya paling males disuruh ngebuzz, naikin TT dan lain-lain kalo nggak sesuai dengan haluan kehidupan tapi saya juga buzzer.

Kenapa ngebuzz? Karena saya butuh duit.

Jujur aja nih ya, saya juga butuh duit. Listrik dan dapur nggak akan nyala kalo saya nggak kerja keras tiap hari di sosmed.

Bagi sebagian orang hal ini mungkin super duper hina dina, tidak ada penting-pentingnya but let me tell you THIS: Kalian selama ini menikmati konten-konten yang saya buat di dunia maya. Cara kalian menikmatinya mungkin berbeda-beda. Ada yang ketawa ngguyu, ngikik pelan, ngikik dalam hati dan jenis-jenis ketawa yang mungkin saya tidak ketahui lainnya--ada pula yang membaca setengah menghujat, menghakimi atau sambil melirik dengan iri dengki ala tokoh antagonis sinetron 90'an

Tapi kalian semua tidak membayar untuk itu.
Kalian tidak membayar untuk hiburan gratis yang saya suguhkan setiap hari.

Siapa yang bayar? Ya sponsor dong.

Toh kalian juga seneng kalo saya bagi-bagi kupon gratisan ini itu, giveaway ini itu, saldo ovo dan gopay tiap ada survey pasar. Saya kan nggak boongin kalian dan nggak boongin sponsor. Kalo produknya nggak cocok pasti saya balikin atau bahkan tidak saya review.

Percaya deh, baca review-review dari duckofyork. Kalo emang nggak cocok atau saya nggak suka bahan-bahannya pasti saya akan bilang.

Dalam sehari ada berapa tawaran kerjasama yang saya tolak hanya karena saya tidak cocok dengan pemberi sponsor atau bahkan produknya? BANYAK!

Ini bukan sombong tapi memang begitu kenyataannya. Banyak tawaran kerjasama yang kemudian tidak sesuai dengan ideologi kita (misalnya saya disuruh kampanye "banyak anak banyak rejeki" ya nggak masukkkk lah), tidak sesuai dengan visi dan misi kita, tidak sesuai dengan niche kita, atau bahkan disuruh bohong.

Bohong ini macem-macem: ada yang bohong-bohongin pembaca bilang barangnya bagus banget padahal enggak, ada yang bohong-bohongin sponsor pake engagement palsu, bahkan yang lebih parah, bohong-bohongin diri sendiri kalo mereka baik-baik saja setelah disuruh campaign seperti itu.

Meski kita pengabdi konten tapi mohon maaf-mohon maaf aja nih ya, harga diri nggak bisa dibeli, jadi kalo saya disuruh ngibulin pembaca demi duit ratusan ribu sih ogah. Maaf-maaf aja, kita boleh kere yang penting sombong dulu! #sikap 

Kalaupun netizen menghujat dan nggak setuju sama kita, selama memang itu sesuai dengan ideologi kita ya nggak ada beban toh? nggak ada harga diri yang tersakiti? Sama seperti ketika saya terang-terangan menulis bahwa saya tidak suka rokok tapi juga mendukung dengan industri tembakau.

Ya nggak masalah dong. Kan itu ideologi saya. Ketika saya membicarakan soal itu, ya jadinya meyakinkan karena memang pendapat saya seperti itu. 

Itu esensinya Influencer Marketing. Personal. Dekat. Akrab. Intim. 

Ketika pemerintah menunjuk buzzer untuk mengiklankan Sawit itu Baik misalnya; ya harus tahu latar belakang si buzzer dulu dong. Apakah dia anak pegawai kebun sawit misalnya? Atau dia pernah dapat beasiswa sawit? Atau memang dia yakin dengan manfaat-manfaat sawit dalam kehidupannya?

Kalau cuma puluhan dan ratusan akun baik dengan atau tanpa nama (anonim) bagaimana masyarakat mau percaya?

Coba jika yang ngetwit adalah petani sawit yang kini kaya raya dari hasil menanam sawit? Atau anak-anak yang mendapat beasiswa pendidikan dan olahraga dari perusahaan sawit? Mungkin beda hasilnya.

Ngaca dulu lah, kalo ada orang asing ujug-ujug ngomong ke kita "eh sawit itu baik loh" pasti kita bakal mengernyitkan dahi kan?

Ini berlaku ke program-program pemerintahan lain yang dibuzz massal ya, nggak cuma sawit doang. Hayo introspeksi.

Ratusan akun ngepost gambar yang sama dengan caption yang mirip-mirip semacam livetweet massal... apa yakin pesannya akan tersampaikan? Wong mereka yang ngetweet harus mendengarkan, mencerna dan menulis berbarengan. Apa iya bakal maksimal?

Apa iya seperti itu promosi yang kita butuhkan?

Tinggal anda yang perlu menjawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[REVIEW & FIRST IMPRESSION] Natur Hair Mask with Aloe Vera Extract

[REVIEW] Treatment Derma Face Therapy (DFT) Acne Di NMW Skin care Yogyakarta

Semua Yang Perlu Kamu Tahu Soal Food Photography! (+ Behind The Scene)